Tidak pasrah dan tidak merasa hebat
Mengenall diri dan menyalurkan segala potensinya untuk meningkatkan
kebaikan, tidak berarti menjadikan diri dalam dua kutub ekstrim. Yaitu, terlalu
memilih yang mudah mudah saja dalam hidup, atau sebaliknya, karena merasa hebat, akhirnya selalu berlebih-lebihan
dalam menjalani kehidupan Ini.
Karenanya, semuanya harus diselaraskan dengan tuntunan Al Qur’an
dan Sunnah. Yang menyuruh kita berlalu adil, seimbang, tidak berlebih-lebihan,
tetapi juga tidak bermalas-malasan.
Selain itu, penilaian diri tak bisa diserahkan pada selera, di mana
batasan baik buruknya seseorang diibaratkan rasa dan aroma dalam masakan. Bagi
orang yang menyenangi rasa asin atau pedas, maka rasa itu akan dikatakan baik.
Sebaliknya bagi orang yang tidak menyukai rasa itu, maka ia tidak akan
mengatakan masakan itu lezat.
Bisa saja kita menilai, kemampuan diri kita terbatas. Tapi
keterbatasan itu tidak boleh disikapi dengan kepasrahan. Bisa jadi kita menilai
diri kita punya banyak kelebihan. Tetapi itu tidak boleh disikapi dengan besar
kepala, arogan, apalagi menindas sesama. Semuanya harus ditata bagaimana agar
sesuai dengan koridor tuntunan Islam yang akan menempatkannya pada saluran yang
tepat. Muhammad Quthb, menggambarkan karakter unik setiap orang itu ibarat
senar pada alat musik. Senar itu mempunyai bunyi yang berbeda-beda. Tapi ketika
senar itu dipetik secara baik dan sesuai aturannya, maka yang terdengar adalah
alunan yang merdu.
Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziah, Allah SWT telah memadukan dalam jiwa
manusia dua macam kekuatan, yakni kekuatan syahwat dan kekuatan iradah
(keinginan baik). Dua kekuatan itu akan menyatu membentuk kekuatan baru yang
handal sebagai mesin penggerak bagi seluruh aktivitas yang bermanfaat atau
upaya melawan apa yang bisa membahayakan dirinya. Sifat marah, misalnya, dalam
pandangan lbnul Qayyim tidak dianggap sebagai sifat yang mutlak bahayanya. ”Sesungguhnya
amarah itu adalah tameng manusia yang bertugas membentenginya dari hal-hal yang
akan membahayakan dan menyakiti dirinya.” (Raudhatul Muhibbin, lbnul
Qayyim, 469)
Semua keadaan diri kita harus disikapi dan dikendalikan secara
proporsional. Maka mengenali potensi yang ada dalam diri, harus dilanjutkan
dengan fase pengarahan dan pengendalian. Indah sekali kesimpulan yang
dipaparkan oleh lbnul Qayyim. Ia mengatakan bahwa nafsu itu tak ubahnya seperti
kuda tunggangan yang akan membawa orang yang mengendalikannya ke sorga atau ke
neraka. Bila nafsu manusia diarahkan untuk menerjuni kenikmatan syahwat yang
semu serta mengarungi lautan keinginan yang diharamkan Allah, niscaya nafsu
akan membawanya ke jurang neraka. Tapi jika dijaga dan dikendalikan dengan
kesabaran, maka nafsu akan membawa penunggangnya ke surga.
”Nafsu itu memiliki dua kekuatan. Pertama kekuatan untuk memerangi
dan kedua kekuatan untuk membela. Fungsi sabar bagi nafsu adalah menyalurkan
daya serangnya hanya pada ha:hal yang bermanfaat bagi diriya dan menempatkan
daya belanya hanya untuk menolak hal-hal yang membahayakan dirinya." (Umdatus
Shabirin wa Zahiratus Syakin’n, lbnul Qayyim, 10)
Karenanya, hasil penilaian terhadap diri sendiri, selalu harus
disalurkan pada situasi yang bermanfaat, sesuai dengan bimbingan Allah dan
RasuI-Nya. Jangan terseret dan terjerumus pada arus berpikir pesimis. Jangan
pula terjerumus pada sikap melebihkan kemampuan diri sendiri, merasa sangat
hebat dan segala-galanya. Surnber kehancuran diri, seringkali bermula dari
kedua sikap yang sama-sama kurang tepat itu.
0 komentar:
Posting Komentar