Rabu, 30 Oktober 2019

Tidak pasrah dan tidak merasa hebat


Mengenall diri dan menyalurkan segala potensinya untuk meningkatkan kebaikan, tidak berarti menjadikan diri dalam dua kutub ekstrim. Yaitu, terlalu memilih yang mudah mudah saja dalam hidup, atau sebaliknya, karena  merasa hebat, akhirnya selalu berlebih-lebihan dalam menjalani kehidupan Ini.

Karenanya, semuanya harus diselaraskan dengan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah. Yang menyuruh kita berlalu adil, seimbang, tidak berlebih-lebihan, tetapi juga tidak bermalas-malasan.

Selain itu, penilaian diri tak bisa diserahkan pada selera, di mana batasan baik buruknya seseorang diibaratkan rasa dan aroma dalam masakan. Bagi orang yang menyenangi rasa asin atau pedas, maka rasa itu akan dikatakan baik. Sebaliknya bagi orang yang tidak menyukai rasa itu, maka ia tidak akan mengatakan masakan itu lezat.

Bisa saja kita menilai, kemampuan diri kita terbatas. Tapi keterbatasan itu tidak boleh disikapi dengan kepasrahan. Bisa jadi kita menilai diri kita punya banyak kelebihan. Tetapi itu tidak boleh disikapi dengan besar kepala, arogan, apalagi menindas sesama. Semuanya harus ditata bagaimana agar sesuai dengan koridor tuntunan Islam yang akan menempatkannya pada saluran yang tepat. Muhammad Quthb, menggambarkan karakter unik setiap orang itu ibarat senar pada alat musik. Senar itu mempunyai bunyi yang berbeda-beda. Tapi ketika senar itu dipetik secara baik dan sesuai aturannya, maka yang terdengar adalah alunan yang merdu.

Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziah, Allah SWT telah memadukan dalam jiwa manusia dua macam kekuatan, yakni kekuatan syahwat dan kekuatan iradah (keinginan baik). Dua kekuatan itu akan menyatu membentuk kekuatan baru yang handal sebagai mesin penggerak bagi seluruh aktivitas yang bermanfaat atau upaya melawan apa yang bisa membahayakan dirinya. Sifat marah, misalnya, dalam pandangan lbnul Qayyim tidak dianggap sebagai sifat yang mutlak bahayanya. ”Sesungguhnya amarah itu adalah tameng manusia yang bertugas membentenginya dari hal-hal yang akan membahayakan dan menyakiti dirinya.” (Raudhatul Muhibbin, lbnul Qayyim, 469)

Semua keadaan diri kita harus disikapi dan dikendalikan secara proporsional. Maka mengenali potensi yang ada dalam diri, harus dilanjutkan dengan fase pengarahan dan pengendalian. Indah sekali kesimpulan yang dipaparkan oleh lbnul Qayyim. Ia mengatakan bahwa nafsu itu tak ubahnya seperti kuda tunggangan yang akan membawa orang yang mengendalikannya ke sorga atau ke neraka. Bila nafsu manusia diarahkan untuk menerjuni kenikmatan syahwat yang semu serta mengarungi lautan keinginan yang diharamkan Allah, niscaya nafsu akan membawanya ke jurang neraka. Tapi jika dijaga dan dikendalikan dengan kesabaran, maka nafsu akan membawa penunggangnya ke surga.

”Nafsu itu memiliki dua kekuatan. Pertama kekuatan untuk memerangi dan kedua kekuatan untuk membela. Fungsi sabar bagi nafsu adalah menyalurkan daya serangnya hanya pada ha:hal yang bermanfaat bagi diriya dan menempatkan daya belanya hanya untuk menolak hal-hal yang membahayakan dirinya." (Umdatus Shabirin wa Zahiratus Syakin’n, lbnul Qayyim, 10)

Karenanya, hasil penilaian terhadap diri sendiri, selalu harus disalurkan pada situasi yang bermanfaat, sesuai dengan bimbingan Allah dan RasuI-Nya. Jangan terseret dan terjerumus pada arus berpikir pesimis. Jangan pula terjerumus pada sikap melebihkan kemampuan diri sendiri, merasa sangat hebat dan segala-galanya. Surnber kehancuran diri, seringkali bermula dari kedua sikap yang sama-sama kurang tepat itu.

Keluarkan Energi Positifmu Dengan Komentar Yang Positif, Agar Kehidupan Kita Selalu Diliputi Dengan Aura Yang Positif

0 komentar:

Posting Komentar

Start Work With Me

Contact Us
NASRULLAH
0815-5403-2443
Kab Bogor, Indonesia